BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban.
Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban,
dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah
kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan
keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.
Hak dan
kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari
sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah juga harus
dilakukan dengan cara yang baik dan bijak agak keuangan daerah tersebut bisa
menjadi efisien penggunaanya yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengelolaan keuangan pada pusat daerah?
2.
Bagaimana Analisis pengelolaan keuangan pada pusat
daerah?
3.
Bagaimana pengaruh pengelolaan keuangan pada pusat
daerah terhadap perekonomian Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk
Mengetahui bagaimana sebenarnya pengelolaan uang pada pusat daerah secara garis
besar
2. Untuk
mengetahui secara garis besar pengaruh pengelolaan keuangan pusat daerah
terhadap perekonomian Indonesia
3. Untuk
mengetahui analisis tentang pengelolaan keuangan pusat daerah
BAB
II
PEMBAHASAN
- Dasar Teori
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut.
Pengelolaan
Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya
disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Sumber-sumber
keuangan daerah atau pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh
dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan
daerah.
Sumber Keuangan
Daerah tersebut terdiri dari:
1. Pendapatan Asli
daerah (PAD) yang meliputi :
a.
Hasil pajak daerah
UU No. 28/ 2009
menjelaskan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak Provinsi: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
pajak air permukaan; dan pajak rokok.
Pajak Kabupaten/Kota: pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak
sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
b.
Hasil retribusi daerah
Retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena
mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa
yang diberikan oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang diberikan
kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi daerah terletak pada yang dapat
dinikmati oleh masyarakat sehingga retribusi sangat berhubungan erat dengan
jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan.
Retribusi dikelompokkan menjadi:
1.
Retribusi jasa umum: retribusi atas jasa
yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2.
Retribusi jasa usaha: retribusi atas
jasa yang disediakan oleh Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya disediakan oleh sektor swasta.
Contoh retribusi daerah:
a.
Biaya jalan tol
b.
Biaya pangkalan
c.
Biaya penambangan
d.
Biaya potong hewan
e.
Uang muka sewa tanah / bangunan
f.
Uang sempadan dan izin bangunan
g.
Uang pemakaian tanah milik daerah
h.
Dll.
c.
Hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan milik daerah yang
dipisahkan
Perusahaan milik
daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat memberi jasa, menyelenggarakan
pemanfaatan umum dan memupuk pendapatan
Tujuannya adalah untuk
turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan kebutuhan
rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan ketentraman serta ketenangan
kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Perusahaan daerah
bergerak dalam bidang yg sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut
perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup orang banyak di
daerah, yg modal utk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
d.
Pendapata lain-lain asli daerah yang sah
PAD yang sah merupakan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi
daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Klasifikasi yang termasuk Pendapatan Asli Daerah yang sah adalah sebagai
berikut:
1.
hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan;
2.
jasa giro;
3.
pendapatan bunga;
4.
penerimaan atas tuntutan ganti kerugian
daerah;
5.
penerimaan komisi, potongan ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau
jasa oleh daerah;
6.
penerimaan keuntungan dari selisih nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing;
7.
pendapatan denda atas keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan
8.
pendapatan denda pajak;
9.
pendapatan denda retribusi;
10.
pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
11.
pendapatan dari pengembalian;
12.
fasilitas sosial dan fasilitas umum;
13.
pendapatan dari penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan; dan
14.
pendapatan dari angsuran/cicilan
penjualan.
2. Dana Perimbangan yang
meliputi :
a. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom
(provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana
pembangunan.
DAU merupakan salah
satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan
pada APBD. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.
Dana Alokasi Umum
terdiri dari DAU untuk Daerah Provinsi dan DAU untuk Daerah Kabupaten/ Kota. Proporsi
DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. DAU
untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah
fiskal dan alokasi dasar.
Celah fiskal merupakan
selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur
dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan
Manusia. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.
Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
b. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH dilakukan
berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan
penyaluran bedasarkan realisasi penerimaan.
DBH bersumber dari pajak dan sumber daya
alam.
DBH yang berasal dari
pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi Dan
Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21. Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan. DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara
pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
Dana Bagi Hasil Sumber
Daya Alam berasal dari:
1.
Kehutanan
2.
Pertambangan Umum
3.
Perikanan
4.
Pertambangan Minyak Bumi
5.
Pertambangan Panas Bumi
c. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi
dari APBN kepada provinsi/ kabupaten/ kota tertentu dengan tujuan untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan PemDa dan sesuai dengan
prioritas nasional.
- Penelitian Orang Lain
Indah Mustika Dewi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro dalam Skripsinya ( 2011 ) yang
berjudul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPABILITAS ANGGOTA DPRD
DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH (APBD)”
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang
yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Berdasarkan
pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung beberapa
unsur pokok, yaitu hak daerah
yang dapat dinilai, kewajiban daerah dengan uang, dan kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban tersebut.
Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah
segala hak yang melekat pada daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam
usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah. Keuangan daerah dituangkan
sepenuhnya kedalam APBD. Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya
pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Dalam konteks ini lebih difokuskan kepada pengawasan keuangan daerah yang dilakukan
oleh DPRD.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya
disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disetujui oleh
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8
tentang Keuangan Negara). APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah
dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan
daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam
tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk
memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran
daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD.
Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan
daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan
dan pengawasan keuangan daerah. Anggaran merupakan suatu pernyataan formal yang
dibuat oleh manajemen berupa rencana-rencana yang akan dilakukan pada masa yang
akan datang dalam suatu periode tertentu, dimana rencana tersebut merupakan
suatu pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut
Banyak
pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran, baik manajer tingkat atas maupun
manajer tingkat bawah dan ini akan berdampak langsung terhadap perilaku
manusia, terutama bagi orang yang langsung mempunyai hubungan dengan penyusunan
anggaran.
Fungsi-fungsi
dari Anggaran Penerimaan Belanja Daerah adalah seebagai berikut :
1. Fungsi Otorisasi, anggaran daerah merupakan dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, anggaran daerah merupakan pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
4. Fungsi
Alokasi, anggaran daerah
diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi, anggaran daerah harus mengandung arti/
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6. Fungsi Stabilisasi, anggaran daerah harus mengandung arti/harus
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
C.
Analisis
Dapat diketahui sesuai dengan penjelasan di atas
bahwa Sumber-Sumber
Keuangan Daerah terdiri dari :
1. Pendapatan Asli
daerah (PAD) yang berupa:
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil retribusi
daerah
c. Hasil perusahaan
milik daerah dan hasil pengelolaan milik daerah yang dipisahkan
d. Pendapatan asli
daerah lain-lain yang sah
2. Dana Perimbangan:
a. Dana Alokasi Umum
b. Dana Bagi Hasil
c. Dana Alokasi Khusus
Sesuai teoritis
sumber-sumber keuangan daerah diatas seharusnya pengelolaan keuangan daerah
bisa dilakukan dengan baik, tetapi realisasi yang didapat tidak sesuai dengan
yang diharapkan karena timbul berbagai permasalahan, antara lain :
- Intervensi hak budget DPRD terlalu
kuat .
Dimana
anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari
usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang ( Musyawarah
Pembangunan Daerah ). Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang
yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses
mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil
Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni
kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan
seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga
didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income
bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek
pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan.
- Pendekatan partisipatif dalam
perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika.
Perencanaan
pembangunan masih didominasi oleh Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan
Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di
tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi
realisasinya sangat minim.
- Proses Perencanaan kegiatan yang
terpisah dari penganggaran.
Karena ketidakjelasan informasi besaran
anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja
(shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan
sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin
banyak. Ibarat
memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
- Ketersediaan dana yang tidak tepat
waktu.
Terpisahnya
proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan
anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana
seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per
1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih
sulit didapatkan.
- Terlalu banyak “order” dalam
proses perencanaan .
masing-masing
ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty
mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah
seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming”
yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah
disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming
melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya
perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah )
bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing.
Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada
Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
- Koordinasi antar SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah ) untuk proses perencanaan masih lemah.
sehingga
kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul
egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong
program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi
batubara di lokasi tersebut.
- SKPD yang mempunyai alokasi
anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak
mempunyai tenaga perencana yang memadai.
Akibatnya
proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya
tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan
rencana.
- APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi
oleh Pemprop.
Disisi
lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut.
Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi
anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama
dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
- Kualitas
hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya
Fasilitator Musrenbang yang berkualitas.
Fasilitasi proses
perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan)
seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat
edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan
fasilitasi di lapangan.
- Pedoman
untuk Musrenbang atau perencanaan cukup rumit (complicated).
dan agak sulit
untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian
perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal
pengetahuan, teknologi dll.
- Dalam
praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke
AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi
terhadap suatu persoalan.
Contoh kasus nyata; di
sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa
rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber
bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk
dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan
dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah
berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu
terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa
berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan
itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll.
Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu
soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari
outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya:
adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola
perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari
contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu
didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah
perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi
“Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi
orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai
gerakan pembangunan).
Berdasarkan 11 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga
(mala) praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan
daerah saat ini:
1.
problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara
belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu
pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah
menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik
maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD
untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk
membiayai birokrasi.
2.
problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana
APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari
dana dekonsentrasi, medebewinddan dana sektoral). Suatu jumlah uang
beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun
sayang, sejauh ini Pemda masih belum secara penuh menyerap dana tersebut jadi
banyak dana yang terbengkalai.
3.
selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga
gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni
administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem
akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik
kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam
kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan,
hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian,
selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak
memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse(tak wajar). Terkait
masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat
(dulu bernama Bawasda) di daerah.
Disini ada beberapa
kebijakan umum Anggaran yang meliputi :
1.
Menjaga agar keuangan daerah selalu
mengalami surplus sebagai antisipasi kemungkinan perlunya investasi daerah.
2.
Mengimplementasikan anggaran
berbasis kinerja secara terpadu dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Dengan
arah kebijakan tersebut, sebagai contoh dapat digambarkan target
serta realisasi APBD tahun 2011 Kabupaten Boyolali sebagai berikut :
Tabel
1
Target
dan Realisasi APBD Kabupaten Boyolali
Tahun
Anggaran 2011 (unaudited BPK)
Uraian
|
Target
2011 (Rp.)
|
Realisasi
2011 (Rp.)
|
Pendapatan
|
1.078.432.493.000,00
|
1.100.757.124.624,00
|
Belanja
|
1.157.812.700.000,00
|
1.106.847.767.334,00
|
Surplus /
Defisit
|
(79.380.207.000,00)
|
(6.090.642.710,00)
|
Pembiayaan
Netto
|
79.380.207.000,00
|
79.730.949.309,00
|
Sisa
Lebih/Kurang Pembiayaan Tahu Berkenaan
|
0,00
|
73.640.306.599,00
|
Sumber data: DPPKAD Kab. Boyolali
Komposisi belanja langsung, proporsi
belanja modal belum sesuai dengan arah
kebijakan dari belanja daerah, namun peningkatan ekonomi dan pemberdayaan
masyarakat tidak hanya dari belanja langsung (khususnya belanja modal), akan
tetapi belanja tidak langsung khususnya belanja sosial, belanja hibah dan
bantuan keuangan pada kenyataannya juga mendorong peningkatan ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat.
Target
dan Realisasi Pendapatan
Target
dan realisasi APBD Tahun Anggaran 2011 data unaudited BPK
sebagaimana
pada tabel berikut :
Tabel
2
Target
dan Realisasi Pendapatan APBD Kabupaten Boyolali
Tahun
Anggaran 2011 (unaudited BPK)
NO
|
URAIAN
|
TARGET
(Rp)
|
REALISASI
(Rp)
|
LEBIH/KURANG
(Rp)
|
%
|
1.
|
PENDAPATAN
ASLI DAERAH
|
|
|
|
|
|
a. Pajak Daerah
|
18.824.390.000,00
|
19.256.739.005,00
|
432.349.005,00
|
102,30
|
|
b. Retribusi Daerah
|
19.603.427.000,00
|
19.880.936.018,00
|
277.509.018,00
|
101,42
|
|
c. Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
|
4.702.357.000,00
|
4.598.351.111,00
|
(104.005.889,00)
|
97,79
|
|
d. Lain-lain
PAD Yang Sah
|
45.442.346.000,00
|
52.753.107.685,00
|
7.310.761.685,00
|
116,09
|
|
JUMLAH
1
|
88.572.520.000,00
|
96.489.133.819,00
|
7.916.613.819,00
|
108,94
|
2.
|
DANA
PERIMBANGN
|
|
|
|
|
|
a. Bagi hasil pajak
|
42.347.201.000,00
|
47.593.341.738,00
|
5.246.140.738,00
|
112,39
|
|
b. Bagi hasil
Bukan pajak (SDA)
|
877.484.000,00
|
900.991.734,00
|
23.507.734,00
|
102,68
|
|
c. Dana
Alokasi Umum
|
641.787.696.000,00
|
641.483.262.000,00
|
(304.434.000,00)
|
99,95
|
|
d. Dana
Alokasi Khusus
|
67.173.500.000,00
|
67.160.700.000,00
|
(12.800.000,00)
|
99,98
|
|
JUMLAH
2
|
752.185.881.000,00
|
757.138.295.472,00
|
4.952.414.472,00
|
100,66
|
3.
|
LAIN-LAIN
PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
|
|
|
|
|
|
a. Pendapatan
Hibah
|
4.947.562.000,00
|
4.995.846.766,00
|
48.284.766,00
|
100,98
|
|
b. Pendapatan
Bagi Hasil Pajak Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya
|
30.280.496.000,00
|
39.837.950.371,00
|
9.557.454.371,00
|
131,56
|
|
c. Dana Penyesuaian & Otonomi Khusus
|
179.730.049.000,00
|
179.730.049.200,00
|
200,00
|
100,00
|
|
d. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau
Pemerintah Daerah lainnya
|
22.715.985.000,00
|
22.565.848.996,00
|
(150.136.004,00)
|
99,34
|
|
JUMLAH 3
|
237.674.092.000,00
|
247.129.695.333,00
|
9.455.603.333,00
|
103,98
|
|
JUMLAH
1 s/d 3
|
1.078.432.493.000,00
|
1.100.757.124.624,00
|
22.324.631.624,00
|
102,07
|
Sumber data:
DPPKAD Kab. Boyolali.
Dari
tabel tersebut dapat kami informasikan hasil perhitungan per 31 Desember
2011 sebelum diaudit (unaudit) BPK. Pendapatan Daerah tahun 2011 terealisasi
sebesar Rp.1.100.757.124.624,00 sehingga tercapai 102,07% atau lebih sebesar Rp.22.324.631.624,00
dari rencana target pendapatan Rp.1.078.432.493.000,00.
Rp96.489.133.819,00 atau 108,94%. Sehingga nampak bahwa realisasi pendapatan tahun
anggaran 2011 mencapai Rp.1.100.757.124.624,00 jika dibandingkan dengan realisasi
tahun anggaran 2010 yang mencapai Rp.917.898.637.498,00
mengalami kenaikan sebesar Rp.182.858.487.126,00 atau sebesar 19,92%. Dan dapat
disimpulkan juga mengenai anggaran dan realisasi Kabupaten Boyolali di atas
disebutkan bahwa dilihat dari besarnya Dana Alokasi Umum yang di dapat dan
sangat besar maka dapat disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Boyolali masih banyak
ketergantunganya terhadap pemerintah pusat.
3.
Pengaruh
terhadap Perekonomian
Indonesia
Sesuai
dengan uraian diatas bahwa sumber-sumber keuangan daerah dipengaruhi oleh 3
komponen utama, yaitun:
1. Pendapatan
asli daerah
2. Pendapatan
yang berasal dari pusat
3.
Pendapatan lain-lain dari daerah
yang sah
Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut,
komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat salah satunya adalah hibah yang didasarkan
pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 ) merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Di samping itu besarnya dana dari
pusat tersebut juga membawa konsekuensi kebijakan proyek pemerintah pusat yang
secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek
pemerintah pusat melalui APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam anggaran
pemerintah daerah (APBD). Adapun pembiayaan pemerintah dalam hubungannya dengan
pembiayaan pemerintah pusat diatur sebagai berikut:
- Urusan
yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi
dibiayai atas beban APBN.
- Urusan
yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka
desentralisasi dibayar dari dan atas beban APBD.
- Urusan
yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasnya, yang
dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat
atas beban APBN atau pemerintah daerah diatasnya atas beban
APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi,
Pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan
demikian bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya disamping
mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari Pemda
Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan, dana propinsi tersebut berasal
dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah
dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti
tersebut diatas peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.
Dalam implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi
perangkat birokrasi pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi yang
terselubung sehinggga kemandirian daerah menjadi terhambat. Pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber-sumber daya nasional
yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga
merupakan subsistem dari pemerintahan negara sehingga antara keuangan daerah
dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi.
Hubungan ini dapat dilihat secara
langsung lewat adanya sumber dana besar keuangan daerah yang salah satunya
berasal dari bantuan pemerintah pusat. Dengan adanya uraian tersebut maka
diharapkan pemerintah daerah memang harus bisa lebih efisien dalam mengelola
keuanganya agar anggaran dana dari pemerintah pusat yang sudah dianggarkan
sebelumnya bisa tercukupi dengan baik. Walaupun pemerintah pusat sudah
memberikan instruksi bahwa ketika keuangan daerah kurang bisa meminta ke
pemerintah pusat, tetapi secara langsung hal ini bisa membuat kondisi keuangan
pusat yang semakin berkurang dan secara tidak langsung akan membuat kemandirian
suatu daerah dalam mengelola keuanganya akan menjadi terhambat.
4.
Solusi
Dari
permasalahan-permasalahan yang timbul di atas maka ditemukan beberapa solusi
diantaranya:
1. Dengan
mengefesienkan pengeluaran-pengeluaran oleh DPRD dan tidak semena-mena dalam
membuat anggaran.
2.
Rencana pembangunan harus melibatkan
semua elemen, agar tidak terjadi kekecewaan di
tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi
realisasinya sangat minim.
3.
Penyusunan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan, agar uang tidak
terbuang secara Cuma-Cuma.
4.
Pendistribusian dana yang sudah dianggarkan agar bisa tepat waktu
sesuai rencana.
5.
Perlu ditingkatkan koordinasi antar SKPD agar dapat berjalan
dengan baik,
6.
Perlu adanya tenaga perencana yang memadai dari sector dinas yang
menghabiskan dana yang besar agar pekerjaan tidak menjadi molor.
7.
Penambahan tenaga evaluasi pada masing-masing pemprov, agar ketika
mengevaluasi dana dari daerah tidak berlangsung lama.
8.
Dalam penyelesaian masalah jangan hanya dilihat dari akar
permasalahanya saja, karena hanya akan membuat suatu permasalahan tersebut
mrnjadi bias. Tetapi dengan memahami permasalahan-permasalahan tersebut dengan
pasti agar ketika penyelesaian bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang
diharapkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keuangan Daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban. Sementara pengelolaan
keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah
kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan
keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.
Dari
Analisis di atas dapat disimpulkan bahwa keuangan daerah ini memang harus bisa
dikelola dengan efisien oleh pemerintah daerah masing-masing. Tetapi
kenyataanya antara rencana yang sudah ditetapkan dengan realisasi dalam
pengelolaan keuangan daerah ada perbedaan, hal ini dikarenakan adanya beberapa
permasalahan yang sebagian besar permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan
keadaan intern dari pejabat-pejabat daerah itu sendiri. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut sebenarnya hal mendasar yang harus dirubah adalah sikap
personal dari pejabat-pejabat daerah terutama mengenai kebijakan
menghambur-hamburkan dana yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pribadi
pejabat-pejabat daerah.
Disamping
itu, dengan adanya sumber dana keuangan daerah yang salah satunya berasal
dari bantuan pemerintah pusat maka
diharapkan pemerintah daerah memang harus bisa lebih efisien dalam mengelola
keuanganya agar anggaran dana dari pemerintah pusat yang sudah dianggarkan
sebelumnya bisa tercukupi dengan baik. Walaupun pemerintah pusat sudah
memberikan instruksi bahwa ketika keuangan daerah mengalami kekurangan bisa meminta ke pemerintah pusat, tetapi
secara langsung hal ini bisa membuat kondisi keuangan pusat yang semakin
berkurang dan secara tidak langsung akan membuat kemandirian suatu daerah dalam
mengelola keuanganya akan menjadi terhambat.
DAFTAR PUSTAKA
Agung. 2011. Banyak Persepsi Pengaruhi Kebijakan Tata
Kelola Keuangan Daerah Universitas
Gadjah Mada. 17 Oktober 2011.
DPPKAD
Kab. Boyolali “Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2011”
Indah Mustika Dewi. 2011.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapabilitas Anggota
DPRD dalam Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Universitas Diponegoro.
Jamila Lestyowati, SE. M.Si. 2011. Menuju Pengelolaan Keuangan Daerah yang Profesional. Diskusi Ekonomi. 09 Agustus
2011.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.